Dari Abu Hurairah r.a beliau mengatakan,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak pernah
mencela makanan. Jika beliau menyukai satu makanan, maka beliau
memakannya. Jika beliau tidak suka, maka beliau meninggalkannya.” (HR.
Bukhari no. 5409 dan Muslim no. 2064)
Mencela makanan adalah ketika seseorang
menikmati hidangan yang disajikan lalu ia mengomentari makanan tersebut
dengan mengucapkan terlalu asin, kurang asin, lembek, terlalu keras,
tidak matang dan lain sebagainya.
Hikmah dari larangan ini adalah: karena
makanan adalah ciptaan Allah sehingga tidak boleh dicela. Di samping
itu, mencela makanan menyebabkan orang yang membuat dan menyajikannya
menjadi tersinggung (sakit hati). Ia sudah berusaha menyiapkan hidangan
dengan sebaik mungkin, namun ternyata hanya mendapatkan celaan. Oleh
karena itu syariat melarang mencela makanan agar tidak menimbulkan
kesedihan dalam hati seorang muslim.
Syekh Muhammad Sholeh al-Utsaimin
mengatakan, “Tha’am (yang sering diartikan dengan makanan) adalah segala
sesuatu yang dinikmati rasanya, baik berupa makanan ataupun minuman.
Sepantasnya jika kita diberi suguhan berupa makanan, hendaknya kita
menyadari betapa besar nikmat yang telah Allah berikan dengan
mempermudah kita untuk mendapatkannya, bersyukur kepada Allah karena
mendapatkan nikmat tersebut dan tidak mencelanya. Jika makanan tersebut
enak dan terasa menggiurkan, maka hendaklah kita makan. Namun jika tidak
demikian, maka tidak perlu kita makan dan kita tidak perlu mencelanya.
Dalil mengenai hal ini adalah hadits dari Abu Hurairah. Abu Hurairah
mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mencela
makanan. Jika beliau menyukainya, maka beliau memakannya. Jika beliau
tidak menyukainya, maka beliau meninggalkannya dan tidak mencela makanan
tersebut. Misalnya ada orang yang diberi kurma dan kurma yang
disuguhkan adalah kurma yang jelek, orang tersebut tidak boleh
mengatakan kurma ini jelek. Bahkan kita katakan pada orang tersebut jika
engkau suka silakan dimakan dan jika tidak suka, maka janganlah
dimakan. Adapun mencela makanan yang merupakan nikmat Allah kepada kita
dan hal yang Allah mudahkan untuk kita dapatkan, maka hal ini adalah hal
yang tidak sepantasnya dilakukan. Begitu juga jika ada orang yang
membuat satu jenis makanan kemudian disuguhkan kepada kita. Namun
ternyata makanan tersebut tidak kita sukai, maka kita tidak boleh
mencelanya. Jika masakan ini kau sukai silakan dimakan, dan jika tidak,
maka biarkan saja.” (Lihat Syarah Riyadhus Shalihin Juz VII hal 209-210)
Hadits dari Abu Hurairah di atas memuat beberapa kandungan pelajaran, di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Setiap makanan yang mubah itu tidak
pernah Nabi cela. Sedangkan makanan yang haram tentu Nabi mencela dan
melarang untuk menyantapnya.
2. Hadits di atas menunjukkan betapa luhurnya akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau adalah seorang yang memperhatikan perasaan orang yang memasak makanan. Oleh karena itu, Nabi tidaklah mencela pekerjaan yang sudah mereka lakukan, tidak menyakiti perasaan dan tidak melakukan hal-hal yang menyedihkan mereka.
3. Hadits di atas juga menunjukkan sopan santun. Boleh jadi suatu makanan tidak disukai oleh seseorang akan tetapi disukai oleh orang lain.
4. Segala sesuatu yang diizinkan oleh syariat tidaklah mengandung cacat. Oleh karena itu tidak boleh dicela.
5. Hadits di atas merupakan pelajaran yang diberikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menyikapi makanan yang tidak disukai, yaitu dengan meninggalkan tanpa mencelanya. (Lihat Bahjatun Nazhirin Jilid III hal 55)
2. Hadits di atas menunjukkan betapa luhurnya akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau adalah seorang yang memperhatikan perasaan orang yang memasak makanan. Oleh karena itu, Nabi tidaklah mencela pekerjaan yang sudah mereka lakukan, tidak menyakiti perasaan dan tidak melakukan hal-hal yang menyedihkan mereka.
3. Hadits di atas juga menunjukkan sopan santun. Boleh jadi suatu makanan tidak disukai oleh seseorang akan tetapi disukai oleh orang lain.
4. Segala sesuatu yang diizinkan oleh syariat tidaklah mengandung cacat. Oleh karena itu tidak boleh dicela.
5. Hadits di atas merupakan pelajaran yang diberikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menyikapi makanan yang tidak disukai, yaitu dengan meninggalkan tanpa mencelanya. (Lihat Bahjatun Nazhirin Jilid III hal 55)
Mencela makanan tidak diperbolehkan,
bahkan kita dianjurkan untuk memuji makanan. Dalam Riyadhus Shalihin,
Imam Nawawi mengatakan, “Bab tidak boleh mencela makanan dan anjuran
untuk memujinya.”
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, suatu
ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta lauk kepada salah
seorang istrinya, lalu sang istri mengatakan, “Kami tidaklah punya lauk
kecuali cuka.” Nabi lantas minta diambilkan cuka tersebut. Nabi
mengatakan sambil memulai menyantap dengan lauk cuka, “Sebaik-baik lauk
adalah cuka, sebaik-baik lauk adalah cuka.” (HR Muslim no 2052)
Syekh Muhammad al-Utsaimin mengatakan,
“Khol (cuka) adalah sejenis cairan. Jika kurma dimasukkan ke dalamnya,
cairan tersebut akan terasa manis sehingga bisa diminum. Perkataan Nabi
dalam hadits di atas merupakan sanjungan terhadap makanan, meskipun
sebenarnya cuka adalah minuman. Akan tetapi minuman boleh disebut tha’am
(makanan) mengingat firman Allah dalam surat al-Baqarah: 249.
Minuman disebut Tha’am karena dia
mengandung rasa yang dalam bahasa Arab disebut tha’mun. Hadits di atas
menunjukkan bahwa di antara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
jika, kita menyukai suatu makanan, hendaklah kita memujinya. Misalnya
memuji roti dengan mengatakan, “Roti yang paling enak adalah buatan
Fulan.” Atau ucapan pujian semacam itu. Hal ini adalah di antara sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Lihat Syarah Riyadhus
shalihin Jilid VII hal 210-211)
Di antara pelajaran yang bisa kita ambil dari hadits di atas adalah:
1. Terpujinya sikap sederhana berkenaan dengan makan karena sikap tersebut adalah di antara kunci agar bisa hidup menyenangkan.
2. Hendaknya keinginan untuk memakan segala sesuatu yang disukai itu dikontrol. Karena tidak semua yang disukai oleh seseorang harus dibeli dan di makan.
3. Anjuran untuk memuji cuka boleh jadi karena cukanya atau untuk menyenangkan orang yang memberikannya. (Lihat Bahjatun Nazhirin Jilid III hal 56)
2. Hendaknya keinginan untuk memakan segala sesuatu yang disukai itu dikontrol. Karena tidak semua yang disukai oleh seseorang harus dibeli dan di makan.
3. Anjuran untuk memuji cuka boleh jadi karena cukanya atau untuk menyenangkan orang yang memberikannya. (Lihat Bahjatun Nazhirin Jilid III hal 56)
Penulis: Ustadz Aris Munandar
Sumber: Kumpulan Tulisan Ustadz Aris Munandar
www.muslim.or.id
Sumber: Kumpulan Tulisan Ustadz Aris Munandar
www.muslim.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar